fbpx

Peringatan Maulid Nabi Dalam Sejarah Peradaban Islam

Umat ​​Islam mengenal Rabiul Awal sebagai bulan lahirnya Nabi Muhammad SAW. Namun, tanggal lahir mereka yang kerap menyebut Indonesia sebagai Nabi, masih dipertanyakan.

Selain itu, hari ke-12 Rabiul Awal yang ditentukan pada hari lahir Nabi masih belum jelas. Hal ini berdasarkan sejarah penggunaan kalender Islam yang pertama kali digunakan oleh Khalifah Umar bin Khattab.

Baca juga penjelasan doa setelah sholat dan juga doa qunut sholat subuh, yuk bisa klik tautan tersebut.

Keinginan untuk memperingati Maulid Nabi muncul pada masa pemerintahan Khalifah Umar yang memerintah antara 22-32 H atau sekitar 638 M. Khalifah Umar ingin menjadikan penanggalan Hijriah yang berdasarkan siklus bulan menjadi sistem penanggalan resmi pemerintahan Islam.

Teman-teman lainnya kesulitan menentukan kapan kalender Hijriah dimulai. Ini karena banyak pandangan teman Anda tentang acara penting yang menjadi titik awal kalender.

Ada ide untuk menjadikan Maulid Nabi sebagai titik awal. Sayangnya, tidak ada teman yang tahu persis kapan Nabi lahir.

Persoalan menjadi semakin pelik karena tidak adanya tradisi pencatatan sejarah dalam masyarakat Arab saat itu. Karenanya, tidak ada catatan tertulis tentang kelahiran Nabi.

Namun, masyarakat Arab terbiasa mengenang peristiwa penting di masa lalu. Salah satunya adalah penyerangan ke Ka’bah oleh pasukan gajah yang dipimpin oleh Ibrahimah yang bertepatan dengan kelahiran Nabi.

Mayoritas ulama menetapkan bahwa peristiwa tersebut berlangsung pada tanggal 12 Rabiul Awal Tahun Gajah. Dilihat dari kalender Kristen, itu terjadi pada tanggal 20 April 571.

Maulid Nabi Dalam Catatan Akademisi

Peringatan Nabi Muhammad SAW, seorang akademisi Universitas Leiden yang fokus pada kajian sejarah Islam, Nico Kaptein, kali ini mengulasnya dalam disertasinya. Menurut Kapten, HUT pertama Nabi dilaksanakan pada masa Fatimiyah di Mesir.

Tepatnya saat dinasti ini berada di bawah kepemimpinan Al Mu’iz li Dinillah yang terjadi pada tahun 953-975 M. Dihitung sejak wafatnya Nabi, kemudian empat abad kemudian.

Kapten berdasarkan komentar dalam buku Al Ihtifal bi Maulid An Nabawiy oleh Al Imam Al Sandubi.

Menurut Kapten, Al Mu’iz adalah pemimpin sekte Syiah. Dia memperingati hari lahir Nabi sebagai legitimasi politik dan sering menyebut dia sebagai keluarga Nabi.

Versi lain, catat sejarawan, adalah bahwa kelahiran Nabi juga menjadi tradisi di kalangan Muslim Sunni. Awalnya dipegang oleh penguasa Suriah, Sultan Nuruddin Attabiq.

Rasanya, untuk memperingati hari jadi Nabi dilakukan pada malam hari dengan isian ayat puji-pujian kepada raja. Karena afiliasi politiknya, hari lahir Nabi dilarang pada masa pemerintahan Afdhal Amirul Juyusy.

Saat Salahuddin Al Ayyubi Berkuasa

Saat Salahuddin Al Ayyubi berkuasa, dia menghidupkan kembali tradisi. Banyak yang mengatakan bahwa Sultan Salahuddin adalah tokoh pertama yang mengikuti tradisi peringatan Maulid Nabi tanpa ada afiliasi politik.

Selain itu, Salahuddin juga memanfaatkan peringatan hari jadi Nabi sebagai sarana untuk menyemangati umat Islam yang berjuang menghancurkan Yerusalem yang didominasi Eropa.

Ketika Yerusalem, terutama Masjid Al Aqsa, diduduki oleh orang Eropa, umat Islam berbeda. Salahuddin menggunakan hari lahir Nabi untuk menyatukan kembali umat Islam.

Umat ​​Islam diingatkan betapa terus menerus Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya berperang melawan serangan orang Quraisy.

Salahuddin juga berpesan agar jamaah haji merayakan Maulid Nabi setiap tanggal 12 Rabiul Awal sepulang dari haji. Perintah itu dikeluarkan pada 579 Hijriyah atau sekitar tahun 1183 M untuk membangkitkan semangat jihad di kalangan umat Islam.

Sayembara Penulisan Riwayat Nabi Muhammad SAW

Selain itu, Salahuddin mengadakan sayembara menulis sejarah Nabi dengan dasar keseniannya. Kontes tersebut dihadiri oleh banyak sarjana dan penulis pada saat itu.

Terpilihnya Syekh Ja’far Al Barzanji dengan karya ‘Iqd Al Jawahir sebagai pemenangnya. Karya ini menjadi terkenal sebagai kitab Al Barzanji dan kini menjadi sangat populer.

Perjuangan Salahuddin menunjukkan hasil yang baik. Kaum Muslim mundur dan membantu Sultan membebaskan Yerusalem.

Empat tahun setelah kelahiran Nabi, Yerusalem direbut kembali. Masjid Al Aqsa terbebas dari cengkeraman musuh.

Ada dugaan bahwa tradisi merayakan Maulid Nabi saat itu adalah bid’ah. Namun, Khalifah Salahuddin dengan tegas menolak hal itu dan menyatakan cara syi’ar, bukan ritual ibadah.